HefLdMeicEtUwtueWBWH3PTTkGBfKDvF5ornRJYT
Bookmark

Memahami Makna Bid'ah

Assalamualaikum...

Memahami Makna Bid'ah

Untuk memperjelas permasalahan bid'ah, maka perlu ditegaskan terlebih dahulu definisi bid'ah.

Harus diakui bahwa definisi bid'ah merupakan sesuatu yang tidak pernah ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Beliau di dalam haditsnya hanya menyebutkan lafadz bid'ah dan tidak pernah menjelaskan sama sekali apa yang dimaksud dengan lafadz tersebut dan apa pula kriterianya. 

Hadits Nabi SAW yang di dalamnya terdapat lafadz bid'ah diantaranya adalah :

حدثنا عبد الله بن أحمد بن بشير بن ذكوان الدمشيقي حدثنا الوليد بن مسلم حدثنا عبد الله بن العلاء حدثني يحيى بن أبي المطاع قال سمعت العرباض بن سارية يقول قام فينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فوعظنا موعظة بليغة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقيل يا رسول الله وعظتنا موعظة مودع فاعهد إلينا بعهد فقال عليكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا وسترون من بعدي اختلافا شديدا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم والأمور المحدثات فإن كل بدعة ضلالة

Jadi, tentang apa yang dimaksud dengan bid'ah tidak ada panduan dari Nabi. Oleh karena itu, merupakan tindakan yang sangat naif, gegabah dan sembrono ketika seseorang menyesatkan, mengkafirkan sesama muslim yang lain hanya didasarkan kepada dugaan yang belum pasti kebenarannya, lebih - lebih jika kelompok yang dituduh sesat juga memiliki dasar argumentasi yang kuat.

Pengertian Bid'ah Menurut Wahabi dan Yang Semadzhab

Kelompok Wahabi dan yang semadzhab dengannya mengidolakan definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi dan menganggapnya sebagai definisi yang paling jami' dan mani' ( Ilmu Ushul Al-Bida', 2r ). Tentu saja pilihan dan penilaian mereka terhadap definisi Syatibi sebagai yang paling jami' dan mani' sangat terdensius, tidak memiliki parameter yang jelas dan dipengaruhi kepentingan mereka.

Setiap definisi yang ditawarkan oleh ulama, meskipun tingkat kepakarannya tidak diragukan lagi selalu saja ditolak atau ditafsiri lain oleh kalangan wahabi dan dianggap kurang jami' dan mani'.

Ada 2 definisi bid'ah yang ditawarkan oleh Imam Syatibi, yaitu :

1. Definisi Bid'ah Yang Pertama Menurut Imam Syatibi adalah

فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

Bid'ah merupakan ungkapan untuk sebuah jalan / metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru ( sebelumnya tidak ada ) dan menyerupai syari'ah. Tujuan melakukannya dimaksudkan untuk berlebih - lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.

2. Definisi Bid'ah Yang Kedua Menurut Imam Syatibi adalah

البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية

Bid'ah adalah jalan / metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada). Tujuan melakukannya sama seperti tujuan melakukan jalan / metode syari'at. 

Dari definisi yang ditawarkan Imam Syatibi di atas, ada beberapa hal yang menjadi persyaratan sebuah perilaku seseorang atau kelompok dikatakan sebagai perbuatan bid'ah, yaitu :

  1. Merupakan "Atthoriq Fiddin" (jalan / metode di dalam agama)
  2. Harus mukhtaro'ah (merupakan kreasi baru)
  3. Harus tudhohi asy-syari'ah (menyerupai syari'ah)
  4. Bertujuan ( mubalaghoh ) berlebih - lebihan dalam beribadah
  5. Tujuan melakukannya sama dengan tujuan melakukan syari'at

Definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi ini, meskipun dianggap definisi yang paling komprehensif menurut kalangan wahabi, akan tetapi dari sisi aplikasi akan terlihat kelemahannya, sehingga menjadi sulit untuk diterapkan.

Dikatakan sulit untuk diterapkan, karena dengan definisi ini terpaksa kita harus berani menganggap para Sahabat Nabi ( Umar bin Khattab dalam kasus sholat tarawih dan bacaan talbiyah, Utsman bin Affan dalam kasus adzan Jum'at 2 kali dan banyak Sahabat Nabi yang lain yang melakukan kreasi dalam bidang keagamaan) sebagai mubtadi'in (orang - orang yang ahli bid'ah yang sesat dan calon penghuni neraka).

Menyadari definisi ini memiliki kelemahan, pada akhirnya mereka terpaksa melakukan taqsimul bid'ah, sehingga terpaksa juga pada akhirnya mereka mengakui, meskipun tidak terus terang, bahwa lafadz كل yang terdapat di dalam hadits di atas (فإن كل بدعة ضلالة) adalah lafadz 'Amm yang urida bihil Khusus.

Sebagai bandingan dari definisi yang biasa dijadikan pegangan kalangan wahabi di atas, perlu juga ditampilkan definisi yang ditawarkan oleh ulama yang lain yang biasa kita jadikan sebagai pegangan Warga Nahdlotul Ulama.

Pengertian Bid'ah Menurut Nahdlotul Ulama

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian bid'ah menurut Ulama Ahlussunnah Wal - Jama'ah yang menjadi pegangan warga NU, diantaranya adalah :

1. Al - Imam Izzuddin Abdul Aziz bin AbdisSalam, mendefinisikan bid'ah dalam kitabnya Qowaidul Ahkam

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله

Bid'ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal ( terjadi ) pada masa Rasulullah SAW. (Qowaidul Ahkam Fi Masholihil Anam, 2/172).

2. Al - Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya, Hafidz dan Faqih dalam madzhab Syafi'i dan karya - karyanya menjadi kajian dunia Islam seperti Syarah Shohih Muslim, Al - Majmu' Syarah Al - Muhadzdzab, RiyadusSholihin dan lain - lain. Beliau mendefinisikan bid'ah sebagai berikut:

هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله

Bid'ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW. 

3. Dalam Kitab Risalah Ahlussunnah Wal - Jama'ah karya Hadratusy Syekh Hasyim Asy'ari, istilah bid'ah ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syekh, menurut Syekh Zaruq dalam Kitab 'Uddatul Murid, kata bid'ah secara Syara' adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakikatnya.

4. Menurut Syekh Zaruq, ada 3 norma untuk menentukan apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid'ah atau tidak

Pertama : Jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari'at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid'ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut bathil dan sesat.

Kedua : Diukur dengan kaidah - kaidah yang digunakan para Imam dan generasi Salaf yeng telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para Ulama, maka dikategorikan sebagai bid'ah, jika ulama masib berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran Ushul (inti) dan mana yang dianggap Furu' (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran Ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga : Setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara' ada 6, yakni Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, Khilaful Aula dan Mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bisa diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid'ah.

Pembagian Bid'ah ( Taqsimul Bid'ah )

Pembagian bid'ah merupakan wacana yang sensitif dan banyak menyita perhatian, karena sampai saat ini ternyata umat Islam belum satu suara. Maksudnya ada kelompok yang berpendapat bahwa semua bid'ah adalah sesat dan tidak terkecuali, sementara ada kelompok lain yang berpendapat bahwa tidak semua bid'ah adalah sesat, ada yang Hasanah dan ada yang Sayyi'ah. 

Sumber perbedaan pendapat tentang masalah ini ternyata bermuara pada penafsiran hadits di atas, khususnya menyangkut matan hadits :

وإياكم والأمور المحدثات فإن كل بدعة ضلالة

Di dalam teori ilmu Ushul Fiqih, kita mengetahui bahwa lafadz كل merupakan salah satu bentuk lafadz 'Amm.

Permasalahannya kemudian adalah apakah lafadz كل yang ada di dalam hadits harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz, atau dianggap sebagai lafadz' Amm akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus?

Dalam masalah ini ada kelompok yang berpendapat bahwa lafadz كل harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz, dan ada juga kelompok lain yang berpendapat bahwa lafadz كل di dalam hadits adalah lafadz yang umum akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus (عام أريد به الخصوص) 

Pendapat Pertama biasa ditawarkan oleh kelompok wahabi dan madzhab yang sejenis, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah satu ulama mereka yang berbunyi :

قوله (كل بدعة ضلالة) كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل) أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلى أقسام ثلاثة أو إلى أقسام خمسة؟ أبدا هذا لا يصح (محمد بن صالح العثيمين، الإبداع في كمال الشرع وخطر الإبتداع، ص ١٣)

Hadits "semua bid'ah adalah sesat" bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata كل (semua). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid'ah menjadi 3 bagian, atau menjadi 5 bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.

Pendapat Kedua ditawarkan oleh kalangan Ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Al - Imam Nawawi menyatakan :

قوله وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع

Sabda Nabi SAW "semua bid'ah adalah sesat" ini adalah kata umum yang dibatasi jangkauannya, maksudnya adalah umumnya sebagian besar bid'ah itu sesat, tapi tidak seluruhnya.

Apabila lafadz كل difungsikan sebagai lafadz 'Amm yang bukan makhshush, maka akan menjadikan ruang gerak umat Islam sangat sempit dan akan selalu berhadapan dengan kesulitan yang cukup luar biasa. Padahal, sifat dasar dari agama adalah Yusron dan Rohmatan Lil Alamin. Pikiran kritis ini harus dimajukan karena memang memungkinkan untuk menganggap lafadz كل yang termasuk dalam kategori lafadz 'Amm sebagai' Amm yang Makhshush. Hal ini sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur'an, diantaranya :

وكان وراء هم ملك يأخذ كل سفينة غصبا. الكهف ٧٩

Ayat di atas menceritakan tentang perilaku Nabi Khidir yang merusak perahu yang ditumpanginya dan kemudian diprotes oleh Nabi Musa. Nabi Khidir memberikan penjelasan bahwa beliau melakukan hal itu lebih disebabkan karena ada raja yang selalu mengambil perahu secara paksa.

Kalau seandainya lafadz كل yang ada di dalam ayat di atas diartikan sesuai dengan kedudukannya sebagai lafadz 'Amm, sehingga meliputi seluruh perahu, baik yang bagus maupun yang jelek, maka tindakan yang dilakukan oleh Nabi Khidir adalah merupakan tindakan yang sia - sia, karena meskipun perahunya dirusak, maka raja yang ada di belakangnya tetap akan merampas. Logika ini oada akhirnya mengantarkan kita bahwa yang dimaksud dengan lafadz كل dalam ayat tersebut adalah Makhshush. Dan masih banyak contoh yang lain untuk lafadz 'Amm yang Makhshush. 

Menjadikan klasifikasi bid'ah menjadi 2 yaitu Sayyi'ah dan Hasanah juga didukung oleh hadits - hadits yang lain, diantaranya :

حدثنا أبو معاوية حدثنا الأعمش عن مسلم يعني ابن صبيح عن عبد الرحمن بن هلال العبسي عن جرير بن عبد الله قال خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فحثنا على الصدقة فأبطأ الناس حتى رئي في وجهه الغضب وقال مرة حتى بان ثم إن رجلا من الأنصار جاء بصرة فأعطاها إياه ثم تتابع الناس فأعطوا حتى رئي في وجهه السرور فقال من سن سنة حسنة كان له أجرها ومثل أجر من عمل بها من غير أن ينتقص من أجورهم شيئ ومن سن سنة سيئة كان عليه وزرها ومثل وزر من عمل بها من غير أن ينتقص من أوزارهم شيئ قال مرة يعني أبا معاوية من غير أن ينقص

Kelompok yang menentang terhadap pembagian bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah masih beranggapan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk klasifikasi bid'ah menjadi sayyi'ah dan hasanah. Karena lafadz yang digunakan oleh hadits di atas adalah lafadz من سن bukan lafadz من ابتدع dan lafadz سن tidak dapat diterjemahkan dengan lafadz ابتدع.

Nah Mafhumnya atau yang dapat dipertanyakan adalah apakah memang demikian?

Ada beberapa penjelasan dan pandangan ulama yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan masalah ini, diantaranya :

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير واللفظ لابن أبي شيبة قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن عبد الله بن مرة عن مسروق عن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقتل نفس ظلما إلا كان على ابن آدم الأول كفل من دمها لأنه كان أول من سن القتل وحدثناه عثمان بن أبي شيبة حدثنا جرير وحدثنا إسحق بن ابراهيم أخبرنا جرير وعيسى بن يونس وحدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان كلهم عن الأعمش بهذا الإسناد وفي حديث جرير وعيسى بن يونس لأنه سن القتل لم يذكرا أول قوله صلى الله عليه وسلم : ( لا تقتل نفس ظلما إلا كان على ابن آدم الأول كفل منها؛ لأنه كان أول من سن القتل )، (الكفل) : بكسر الكاف الجزء والنصيب، وقال الخليل : هو الضعف. وهذا الحديث من قواعد الإسلام، وهو أن كل من ابتدع شيئا من الشر كان عليه مثل وزر كل من اقتدى به في ذلك العمل مثل عمله إلى يوم القيامة، ومثله من ابتدع شيئا من الخير كان له مثل أجر كل من يعمل به إلى يوم القيامة، وهو موافق للحديث الصحيح "من سن سنة حسنة ومن سن سنة سيئة" وللحديث الصحيح "من دل على خير فله مثل أجر فاعله" وللحديث الصحيح "ما من داع يدعو إلى هدى وما من داع يدعو إلى ضلالة" والله أعلم

Hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan diberi syarah oleh Imam Nawawi menegaskan secara kongkrit bahwa lafadz سن sangat memungkinkan untuk diterjemahkan dengan lafadz ابتدع dan terjemahan yang benar memang demikian, sehingga tidak ada alasan untuk menolak hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas sebagai dasar bahwa klasifikasi bid'ah memang ada 2, yaitu sayyi'ah dan hasanah. 

Hadits lain yang patut dipertimbangkan bahwa klasifikasi bid'ah ada 2 hasanah dan sayyi'ah adalah :

حدثنا عبد الله بن عبد الرحمن أخبرنا محمد بن عيينة عن مروان بن معاوية الفزاري عن كثير بن عبد الله هو ابن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال بن الحارث اعلم قال ما أعلم يا رسول الله قال اعلم يا بلال قال ما أعلم يا رسول الله قال إنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومحمد بن عيينة هو مصيصي شامي وكثير بن عبد الله هو ابن عمرو بن عوف المزني

Di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzy yang menurut Abu Isa di dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzy Juz 6/476 berkualitas hasan, secara jelas kita lihat bahwa lafadz بدعة oleh Nabi tidak diucapkan secara mutlak, akan tetapi diucapkan dengan menggunakan qayyid. Hal ini bisa disimpulkan bahwa bid'ah memang ada 2, bid'ah yang dholalah dan bid'ah yang tidak dholalah atau bahasa yang umum bid'ah sayyi'ah dan bid'ah hasanah.

Karena adanya dalil tentang masalah ini yang menyebutkan bid'ah secara muqoyyad, maka memungkinkan untuk membawa dalil yang menyebutkan bid'ah secara mutlak, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas, untuk dibawa dan ditafsiri dengan dalil yang menyebutkan bid'ah secara muqoyyad. Metode semacam ini dalam istilah ushul fiqih terkenal dengan sebutan "Hamlul Mutlaq 'Alal Muqoyyad" karena analisis di atas maka tidak heran apabila Jumhur Ulama membagi bid'ah menjadi 2, yakni bid'ah sayyi'ah dan bid'ah hasanah.

Memperhatikan data, argumentasi dan realitas yang terjadi, pembagian bid'ah merupakan sebuah keniscayaan. Apabila ini tidak dilakukan maka kelompok manapun akan sulit mencari benang merah terhadap kreasi At - Thoriqoh Fiddin yang dilakukan oleh para Sahabat dan generasi berikutnya. Karena demikian, maka pada akhirnya semua melakukan pembagian bid'ah meskipun dengan nama yang berbeda, akan tetapi subtansinya sama.

Banyak pembagian bid'ah yang ditawarkan ulama dari berbagai madzhab yang kesimpulannya adalah :

1. Bid'ah dibagi 2, yaitu :

  1. Bid'ah Syar'iyyah, yaitu bid'ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti menambahkan syari'at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang
  2. Bid'ah Lughowiyyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid'ah, akan tetapi substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama

2. Bid'ah dibagi 2, yaitu :

  1. Bid'ah Diniyyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan permasalahan agama
  2. Bid'ah Duniawiyyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)

3. Bid'ah dibagi 2, yaitu :

  1. Bid'ah Hiqiqiyyah, yaitu bid'ah yang tidak didukung oleh dalil
  2. Bid'ah Idhofiyyah, yaitu bid'ah yang memiliki dua sisi, satu sisi didukung oleh dalil, dan dari sisi yang lain tidak didukung oleh dalil

4. Bid'ah dibagi 2, yaitu :

  1. Bid'ah Hasanah
  2. Bid'ah Sayyi'ah

Pembagian bid'ah dari yang pertama sampai yang ketiga kurang biasa kita dengar karena pembagian ini memang sering kali ditawarkan oleh kelompom wahabi dan yang semadzhab.

Sedangkan pembagian yang keempat adalah pembagian yang familiar di telinga kita kaum Nahdhiyyin karena memang ditawarkan oleh Jumhur Ulama yang menjadi panutan kita.

Syekh Zaruq membagi bid'ah dalam 3 macam, yaitu :

  1. Bid'ah Shorihah (yang jelas dan terang), yaitu bid'ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar'i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid'ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid'ah ini merupakan bid'ah paling jelek. Meski bid'ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum - hukum asal ataupun furu', tetapi tetap tidak ada pengaruhnya.
  2. Bid'ah Idhofiyyah (relasional), yaitu bid'ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainyapun praktik itu telah terbebas dari unsur bid'ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid'ah
  3. Bid'ah Khilafy (bid'ah yang diperselisihkan), yaitu bid'ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama - sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran tersebut bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid'ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama termasuk bid'ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama'ah atau soal administrasi.

Tentang pembagian ini ada kesimpulan yang menarik yang ditawarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al - Maliky :

ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوي التي هي مجرد الإختراع والإحداث، ولا نشك جميعا في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الإجتماع قريب وموطن النزاع بعيد. وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية، واعتبارهم ذلك ضرورة. وإن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي

Karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah kepada bid'ah hasanah dan sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah lughowiyyah yang hanya semata - mata kreasi baru (yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam arti syar'i tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercela dan tertolak.

Seandainya mereka yang ingkar memahami hal ini, maka akan tampak bagi mereka bahwa ruang dan kesempatan untuk bersatu menjadi dekat dan terbuka dan peluang untuk perselisihan menjadi jauh (nambah komentar dalam rangka mendekatkan diantara pemahaman yang berkembang) saya berpandangan bahwa kelompok yang mengingkari pembagian bid'ah hanyalah dalam konteks pembagian bid'ah syar'iyyah dengan bukti mereka terpaksa membagi bid'ah menjadi diniyyah dan duniawiyyah.

Kelompok yang membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah tidak lain diarahkan untuk bid'ah lughowiyyah karena mereka berpandangan bahwa menambah agama dan syariat merupakan kesesatan dan kejelekan yang besar. Karena demikian tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat yang terjadi hanya pada permasalahan kulit dan bukan substansi.

Nabi Tidak Melakukan Semua Perkara Mubah

Apabila ada orang yang mengharamkan sesuatu dengan berdalih bahwa hal itu tidak pernah dilakukan Nabi SAW, maka sebenarnya dia mendakwa sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, dakwaannya tidak dapat diterima.

Demikian Abdullah Ibn Ash - Shiddiq Al - Ghumary dalam "Itqonus Sunnah Fi Tahqiqi Ma'anl Bid'ah" lebih lanjut beliau mengatakan : Sangat busa dipahami bahwa Nabu SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah, karena kesibukannya dalam mengurus tugas - tugas besar yang telah memakan sebagian besar waktunya.

Tugas berat Nabi antara lain menyampaikan dakwah, melawan dan mendebat kaum musyrikin serta para ahli kitab, berjihad untuk menjaga cikal bakal Islam, mengadakan berbagai perdamaian, menjaga keamanan negeri, menegakkan hukum Allah, membebaskan oara tawanan perang daru kaum muslimin, mengirimkan delegasi untuk menarik zakat dan mengajarkan ajaran Islam ke berbagai daerah dan lain - lain, yang dibutuhkan saat itu untuk mendirikan sebuah negara Islam.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW hanya menerangkan hal - hal pkok saja dan sengaja meninggalkan sebagian perkara sunah lantaran takut memberatkan dan menyulitkan umatnya (ketika ingin mengikuti semua yang pernah dilakukan Rasulullah) jika beliau kerjakan.

Oleh karena itu, Nabi SAW menganggap cukup dengan menyampaikan Nash - nash Al-Qur'an yang bersifat umum dan mencakup semua jenis perbuatan yang ada di dalamnya sejak Islam lahir hingga hari kiamat.

Misalnya ayat - ayat berikut :

وما تفعلوا من خير يعلمه الله

Dan apa yang kamu kerjakan berupa kabaikan niscaya Allah mengetahuinya. (Al - Baqoroh 197)

من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها

Siapa yang melakukan amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amal itu. (Al - An'am 160)

وافعلوا الخير لعلكم تفلحون

Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Al - Hajj 77)

ومن يقترف حسنة نزد له فيها حسنا

Dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, maka akan kami tambahkan baginya kebaikan atas kebaikan itu. (Asy - Syura 23)

فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره

Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat biji sawi, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (Az - Zalzalah 7)

Banyak juga hadits - hadits yang senada. Maka siapa yang menganggap perbuatan baik sebagai perbuatan bid'ah tercela, sebenarnya dia telah keliru dan secara tidak langsung bersikap sok berani dihadapan Allah SWT dan Rasul-Nya dengan mencela aoa yang telah dipuji.

Referensi : Risalah An - Nahdliyyah 2 PCNU Karawang

Wassalamualaikum...

0

Post a Comment